Buya Hamka/bincangsyariah.com

3 Novel Fenomenal Karya Buya Hamka

Selain memahami ilmu agama, Buya Hamka juga dikenal sebagai penulis novel.

Buya Hamka, yang memiliki nama kecil Abdul Malik, lahir pada 17 Februari 1908 di Sungai Batang, Agam, Sumbar.

Ia adalah anak pertama dari empat bersaudara, pasangan Abdul Karim Amrullah atau Haji Rasul dan Safiyah.

Novel-novel Hamka umumnya bertema gugatan terhadap adat Minangkabau, terutama kawin paksa dan hubungan kekerabatan yang menurut pandangannya tak berkesesuaian dengan cita-cita Indonesia modern.

Buya Hamka setidaknya telah menulis 84 judul buku, termasuk di antaranya novel.
Dari beberapa novel yang lahir dari pemikirannya, berikut dipilihkan tiga di antaranya yang fenomenal.

Di Bawah Lindungan Ka’bah

Novel ini pertama kali diterbitkan pada 1938 oleh Balai Pustaka.

Novel ini menceritakan kisah antara Hamid dan Zainab yang sama-sama jatuh cinta. Sayangnya, mereka terpisah karena perbedaan latar belakang sosial.

Hamid berasal dari keluarga miskin dan Zainab berasal dari keluarga kaya. Hamid mendapat dukungan dana sekolah dari ayah Zainab dan ibunya bekerja di rumah keluarga Zainab.

Pertemuan demi pertemuan membuat keduanya saling jatuh cinta. Namun karena perbedaan ekonomi dan dibayangi utang budi, Ibu Hamid melarang anaknya untuk berharap memiliki Zainab.

Mereka berbagi impian yang sama yaitu tiap manusia bebas untuk mencintai dan dicintai. Cobaan demi cobaan pun mendera keduanya. Mulai dari diusirnya Hamid dari kampung karena dituduh secara tidak sopan menyentuh Zainab hingga akan dijodohkannya Zainab dengan anak seorang saudagar kaya.

Sampai akhirnya Hamid dan Zainab merasa harapannya untuk bisa saling memiliki pupus. Namun Hamid dan Zainab tetap setia dengan janji untuk mempertahankan cinta mereka.

Hamid yang terusir dari kampungnya akhirnya berkelana hingga sampai ke Mekkah dan menunaikan ibadah haji seperti yang diimpikannya. Sementara Zainab tetap menjaga setia janjinya untuk menikah hanya dengan orang yang ia cintai.

Di Mekkah, Hamid terus beribadah hingga akhirnya meninggal di hadapan Ka’bah setelah mengetahui Zainab meninggal.

Novel ini sangat diminati masyarakat dan diadaptasi menjadi film, pada tahun 1981 dan 2011.

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

Novel ini mengisahkan tentang adat di Minangkabau dan perbedaan latar belakang sosial.

Berlatar tahun 1930-an, dari tanah kelahirannya Makassar, Zainuddin berlayar menuju kampung halaman ayahnya di Batipuh, Padang Panjang.

Di sana, ia bertemu dengan Hayati, seorang gadis cantik jelita yang menjadi bunga di persukuannya. Kedua muda-mudi itu jatuh cinta. Namun, adat dan istiadat yang kuat meruntuhkan cinta mereka berdua.

Zainuddin hanya seorang melarat yang tak bersuku; karena ibunya berdarah Bugis dan ayah berdarah Minang, statusnya dalam masyarakat Minang yang matrilineal tidak diakui.

Oleh sebab itu, ia dianggap tidak memiliki pertalian darah lagi dengan keluarganya di Minangkabau. Sedangkan Hayati adalah perempuan Minang santun keturunan bangsawan.

Pada akhirnya, lamaran Zainuddin ditolak keluarga Hayati. Hayati dipaksa menikah dengan Aziz, laki-laki kaya terpandang yang lebih disukai keluarga Hayati daripada Zainuddin. Kecewa, Zainuddin pun memutuskan untuk berjuang, pergi dari ranah Minang dan merantau ke tanah Jawa demi bangkit melawan keterpurukan cintanya. Zainudin bekerja keras membuka lembaran baru hidupnya.

Sampai akhirnya ia menjadi penulis terkenal dengan karya-karya masyhur dan diterima masyarakat seluruh Nusantara.

Tetapi sebuah peristiwa tak diduga kembali menghampiri Zainuddin. Di tengah gelimang harta dan kemasyhurannya, dalam sebuah pertunjukan opera, Zainuddin kembali bertemu Hayati, kali ini bersama Aziz, suaminya. Pada akhirnya, kisah cinta Zainuddin dan Hayati menemui ujian terberatnya; Hayati pulang ke kampung halamannya dengan menaiki kapal Van der Wijck.

Di tengah-tengah perjalanan, kapal yang dinaiki Hayati tenggelam. Sebelum kapal tenggelam, Zainuddin mengetahui bahwa Hayati sebetulnya masih mencintainya.

Novel ini pertama kali ditulis Hamka dalam cerita bersambung sebuah majalah yang dipimpinnya, Pedoman Masyarakat (1938). Karena ceritanya yang menarik, para kritikus kemudian menyebutkan bahwa Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck merupakan salah satu karya terbaik Hamka. Novel ini juga difilmkan.

Merantau ke Deli

Novel ini diterbitkan pada tahun 1939. Sama seperti Tenggelamnya Kapal van der Wijck, novel ini juga pertama kali diterbitkan dalam bentuk cerita bersambung di majalah Pedoman Masyarakat.

Dalam buku ini, Hamka mengusung tema adat Minang yang kental. Dalam ceritanya, Merantau ke Deli mengisahkan seorang laki-laki Minangkabau yang akan dipandang hina jika menikahi perempuan yang bukan berasal dari suku yang sama.

Berbeda dari novel sebelumnya, karya Hamka yang ini memiliki keistimewaan, yaitu perkembangan sastranya. Di buku ini, tidak banyak bahasa yang diubah oleh penerbit. Selain itu, novelnya juga bersifat mengajarkan pembaca dengan cara yang seru dan tidak berlebihan. (*)